Papan larangan resmi dari Kejaksaan Agung RI telah terpasang di lokasi, dengan dasar hukum jelas: Pasal 231 KUHP, Pasal 21 UU Tipikor, Pasal 39 dan 45 KUHAP, hingga Peraturan Jaksa Agung terkait pengamanan dan pengelolaan aset negara.
Namun, pertanyaannya: siapa yang memanen sawit itu? Siapa yang menyuruh? Dan kenapa aparat penegak hukum setempat, termasuk pihak kepolisian, kejaksaan daerah, dan bahkan Badan Pertanahan Nasional (BPN), justru diam?
BPN sebagai lembaga negara yang mengatur dan mendata status kepemilikan tanah, seharusnya turut memastikan bahwa aset sitaan negara tidak dikuasai atau dimanfaatkan secara ilegal. BPN memiliki kewenangan untuk melakukan pencatatan ulang atas lahan yang telah berpindah menjadi milik negara, serta mencegah segala bentuk manipulasi atau penguasaan tanpa hak.
Masyarakat mulai berspekulasi bahwa ada praktik pembiaran atau bahkan permainan dalam panen sawit ini. Apakah benar ada aktor lokal atau oknum aparat yang mengatur panen dan distribusi hasilnya?
“Kalau sawitnya dipanen, berarti ada yang mengatur, ada yang menyuruh. Lalu, siapa yang terima uangnya? Masuk kas negara atau masuk ke saku pribadi?” kata seorang tokoh masyarakat Koba.
Jika aparat penegak hukum dan BPN tidak segera ambil tindakan tegas, maka keberadaan papan sitaan hanya akan menjadi simbol hukum yang tidak dihormati, dan negara kembali dirugikan oleh kelalaian sistemnya sendiri.
( Tiga Demensi )
Social Header